
strategi pemasaran
Ini adalah The Buzzword of Today di dunia pemasaran. Saya belum menemukan
terminologi yang tepat dan pas dalam bahasa kita, tanpa kata-kata itu kehilangan
makna. Saya pikir, apa salahnya untuk sementara menggunakan kata-kata tersebut
supaya bisa menghayati maknanya. Sebab, itulah gejala yang memang terjadi saat ini.
Kini konsumen makin pintar menilai benefit yang ditawarkan dibandingkan
dengan harga yang harus mereka bayar. Konsumen Jepang, misalnya, yang selama
bertahun-tahun mau membayar harga lebih tinggi utnuk produk yang sama, sekarang
sudah tidak mau lagi. Merekamenuntut kualitas tinggi dengan harga yang wajar.
Runtuhnya bubble economy merupakan indikator bahwa mereka tidak mau lagi membeli
produk yang sama dengan banyak ekstra-yang sebenarnya tidak mereka butuhkandengan
harga tinggi. Mereka jadi sadar bahwa dengan begitu, nilai sebenarnya yang
mereka terima rendah.
Itulah yang menyebabkan makin tumbuh suburnya discount store di sana yang
membeli langsung dari supplier, dan menghindari saluran distribusi tradisonal yang
panjang dan berbelit. Untuk memberikan suatu nilai yang tinggi kepada konsumen, para
pengecer berani memotong distributor yang tidak memberikan nilai tambah
sesungguhnya. Di Tokyo, saya melihat sendiri, bagaimana toko-toko eceran diskon,
misalnya Aoki dan Aoyama, menjamur dan tumbuh pesat.
Meraka ada di mana-mana dan cuma menjual pakaian laki-laki. Mereka
memerangi kemewahan dekorasi interior secara drastis, karena hal terebut tidak
memberikan niali sesungguhnya untuk konsumen. Toko mereka rata-rata kecil dan
sederhana, dengan demikian bisa menghemat ongkos. Selain itu, mereka juga berusaha
mendesain dan membuat produk terbut berdasrkan kualitas tertentu.
Mereka bisa mendikte produsen, karena mereka tahu persis apa yangg benarbenar
bernilai untuk konsumen. Selain itu, mereka menguasai akses pada konsumen
dengan memiliki banyak toko eceran. Dengan demikian, mereka bisa menggunakan
brand-name mereka sendiri.
Di New York, saya melihat gejala sebaliknya. Ada iklan dari sebuah produsen jas
yang langsung menunjukkan manfaat bagi konsumen dengan membeli produk mereka
dibandingkan dengan merek lain. Iklan tersebut mebandingkan materi yang dipakai,
desain yang praktis untuk para eksekutif, garansi yang diberikan, dan kenyamanan yang
didapat terhadap harga yang dipasang. Dengan begitu, produsen tersebut lantas
mengklaim bahwa merek mereka bisa memberi nilai tertinggi bagi konsumen ketimbang
merek lain. Berbeda dengan ‘iklim’ di Indonesia, mereka langsung comparative-ad
dalam hal tersebut.
Dua hal yang saya ceritakan di atas punya ‘perbedaan’ sekaligus ‘persamaan’. Di
Tokyo, usaha untuk memberikan value bagi konsumen dilakukan oleh discount store. Di
New Yrok, hal itu dilakukan produsen. Jadi, yang mengambil inisiatif berhak
memperoleh brand-equity.
Bagaimana dengan Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia ? Apakah
konsumen kita masih akan tetap bertahan pada “gensi” atau sebagian besar sudah
beralih ke “nilai”? Menurut saya, kita justru harus berpikir sebaliknya. Sebagian besar
konsumen kita justru harus berpikir sebaliknya. Sebagian besar konsumen kita justru
masih peduli akan “nilai”. Para yuppies atau kaum snob di Indonesia jumlahnya belum
besar dan mungkin saja mereka tetap kepingin trendy. Dalam arti ingin kelihatan “lain
dari yang lain”, walaupun harus hidup “di atas kemampuan”.
Selain itu, memang ada segmen cherry red on top of the icecream, yang
jumlahnya relatif kecil dan lebih image-oriented. Tapi yang harus diingat, globalisasi
tidak bisa ditahan. Konsep warehouse-retail, contohnya Makro, yang sudah terbukti
sukses, akan terus masuk ke Indonesia tanpa bisa di tahan olehregulasi apapun. Dan
sudah terbutki, orang-orang yang berada disegmen cherry red itupun suka belanja di
Makro. Saya tidak yakin, apakah mereka memang super-value-oriented atau cuma
sekadar trendy. Anjuran saya, adalah pekerjaan rumah bagi semua marketer di
Indonesia untuk merenungkan gejala yang juga disebutkan Philip Kolter di Hotel
Borobudur, Jakarta, Februari 1994, yaitu Super-Value-Marketing.
Filed under: marketing |
Tinggalkan Balasan